JAKARTA – Ibarat ikan, busuk itu dimulai dari kepala, barangkali begitulah simpul ucapan sang jenderal, seorang petinggi di institusi kepolisian Republik Indonesia.
Pada waktu selanjutnya, seorang anggota atau mantan anggota Polisi yang bernasib seperti nasi telah jadi bubur usai menembak/membunuh rekannya sesama anggota Polisi. Dari pengalaman pahit itu, ia juga bersimpul pada ucapan bahwa dirinya minta maaf akibat salah karena tak kuasa menolak perintah jenderal. Mengintip petaka Indonesia karena ulah jenderal di negeri ini menarik untuk dicermati, diulik, terutama dari masa orde baru hingga masa kini.
Kekuatan seorang jenderal hampir menyerupai kekuatan dewa dalam kisah-kisah Yunani kuno. Kontribusinya menjadi fakta sejarah yang diupayakan untuk dikaburkan untuk generasi bangsa masa depan. Prajurit, anggota, masyarakat bahkan negara dapat terombang-ambing karena ulah jenderal. Ada jenderal yang di masukkan ke lubang bersejarah, ada jenderal yang terseret karena perannya merontokkan jabatan seorang presiden dan juga sebagai pemimpin revolusi.
Ada jenderal yang pernah dipakai untuk berkaki dua di sidang istimewa. Ada jenderal yang sangat sayang kepada anaknya, sehingga partai keluarga tak malu-malu dipamerkan dalam berdemokrasi. Ada jenderal yang terlibat perjudian dan narkoba. Ada jenderal yang dikait-kaitkan dengan kasus pembunuhan. Ada beberapa jenderal yang jadi presiden. Serta ada jenderal yang menjadi simbol keteladanan.
Dibalik itu, ada serangkaian anggota yang terkendala sejarah politik-militer sebagai akibat mengikuti mematuhi perintah jenderal. Barangkali bagi seorang anggota atau prajurit, hal tersebut bukanlah sebuah kutukan, tetapi adalah sebuah pembuktian komitmen dari pelaksanaan sistem yang tak terkendali dengan bijaksana. Sehingga menciptakan kuasa kendali jenderal dengan penuh otoritas pada bawahannya. Pada posisi ini mungkin benarlah pada ucapan di awal tulisan ini, yaitu busuk itu dimulai dari kepala.
Seiring dengan perubahan zaman dan laju penimbunan kasus-kasus yang tiada kata selesai di negeri ini, mulai dari kasus korupsi hingga manusia mati karena membela hak dan demokrasi. Seiring perkembangan itu pula, rupanya makna jenderal tidak saja sebatas pada kalangan militer, jauh dari itu ada jenderal-jenderal dalam bentuk lain yang mampu memberikan perintah melampaui jenderal dalam makna militer.
Celotehan, terkait tulisan dampak Jenderal-jenderalan di atas adalah sekelumit dari potret hukum rimba yang terjadi dalam keberengsekan Jakarta. Berangkat dari rahasia umum bahwa bayaran sangat menentukan pasal apa yang akan digunakan. Ada keuntungan, masa tahanan koruptor pun bisa disunat. Besar investasi, tuan bisa lakukan apa saja, termasuk mendapat pengawalan ketat dari kalangan robot-robot berseragam.
Praktik hukum rimba, yang disinggung di atas tidak saja terjadi dalam persolan penegakan hukum semata, namun merambat ke semua lini, baik dalam persoalan ekonomi, politik maupun dalam hal pelayanan publik. Tak keliru rasanya jika mengatakan Jakarta adalah rimba, sebab di sini banyak semua jenis yang ada dalam makna rimba pada biasanya. Contohnya, di Jakarta ada Tikus dalam persembunyiannya. Ada Singa yang ketika mengaum yang lainnnya menjadi diam tak berdaya. Ada Serigala. Ada Anjing yang setia membela tuannya dengan menjilat-jilat serta memiliki kecakapan untuk mengusir segala bentuk ketidaknyamanan yang akan terjadi pada tuannya.
Dalam hukum rimba Jakarta ini, yang kuat bukanlah yang berotot tulang baja atau berkawat besi, bukan seperti cerita Gatot Kaca atau Samson bahkan Wiro Sableng dengan kapak 212-nya. Jauh dari itu yang kuat adalah yang mempu mengatur pemimpin-pemimpin (boneka) yang diletakkan sebagai bidak caturnya penguasa di balik penguasa. Berbeda dengan hukum rimba yang dibentuk secara alamiah, hukum rimba Jakarta diciptakan berangkat dari pertimbangan historis, bisnis, kekuasaan dan akumulasi kepentingan politik nasional maupun internasional.
Hukum rimba Jakarta, tentunya tidak selamanya ditolak oleh masyarakat setempat atau bahkan seluruh rakyat Indonesia. Justru terkadang publik terpaksa berdamai dengan hukum rimba tersebut dengan menyakini hal tersebut adalah sebuah kebiasaan baru sebagai akibat perubahan zaman. Zaman sekarang mungkin sudah begitu adanya, ujar seorang yang tak ingin pusing mencari keadilan hukum di negeri ini. Justru ia lebih suka berdamai dan menikmati daya laju keberengsekan dalam berbangsa dan bernegara.
Dengan kehadiran beragam bentuk gelagat jenderal yang berkreasi dalam ekosistem hukum rimba Jakarta, seakan kita tidak akan lagi menemukan progres mendekati cita-cita negara yang diinginkan oleh pendiri bangsa. Sebab hukum rimba Jakarta telah begitu canggih dalam menciptakan, mengemas hukum, mulai dari tujuan pembentukan hukum di hulu hingga dampaknya pada proses penerapan ke hilir.
Potret kemegahan hukum rimba Jakarta bukan saja terlihat adanya penurunan kepercayaan publik terhadap penegak hukum atau kepada perancang atau pembuatan undang-undang, tetapi sisi lainnya juga terlihat dari betapa tak seimbangnya antara kebutuhan rakyat dengan undang-undang yang diselesaikan dalam program legislasi nasional dari masa ke masa. Tak keliru jika ada rakyat jelata yang mengatakan hukum di negeri ini semakin banyak justru semakin menjadikan pemerintah seperti tak waras menjalankan agenda negara.
Bagaimana mungkin negara akan mencapai kondisi adil dan makmur di saat pelaksanaan hukum masih bersifat seperti hukum rimba Jakarta, hukum yang tidak layak disebut hukum, hukum sempurna bagi kalangan yang berpunya, hukum untuk kemaslahatan umat manusia yang berharta dan bertahta. Untuk rakyat jelata cukup bersyukur saja sambil memupuk harapan bahwa akan tercapainya praktik negara secara adil dan akan mensejahterakan rakyatnya.
Dalam hukum rimba Jakarta, tidak ada jawaban kepastian untuk terwujudnya keadilan bagi rakyat jelata, yang ada adalah praktik mempersoalkan ketidakpastian hukum tanpa henti. Rakyat diajak bekerjasama dalam mendulang, memupuk kekuasaan yang pada akhirnya untuk memberikan legitimasi palsu untuk penguasa rimba Jakarta. Siapakah penguasa rimba Jakarta tersebut? Boleh jadi ia seorang jenderal, mantan jenderal, pengusaha atau anaknya mantan-mantan-mantan jenderal, bahkan anak-anak mantan presiden. Yang jelas bukan dari kehendak politik kejujuran rakyat Indonesia.
Zulfata – Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM).