BANDA ACEH – Tanah Serambi Mekkah adalah sebuah provinsi yang kaya akan budaya dan sejarah, ternyata tidak hanya menonjolkan keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga melalui seni kontemporer ornamen yang menjadi bukti keberagaman dan semangat toleransi di tengah masyarakatnya.
Seni kontemporer ornamen di Aceh tidak hanya sekadar estetika visual, tetapi juga mencerminkan keragaman etnis dan agama yang hidup berdampingan dengan harmonis. Melalui karya seni ini, seniman Aceh berusaha menggambarkan keindahan keberagaman dan mempromosikan pesan toleransi kepada dunia.
Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal S.STP, M.SI, melalui Kepala Bidang Bahasa dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Nurlaila Hamjah S.SOS., M.M kepada acehheadline.com, Rabu (18/10/2023).
Nurlaila mengatakan, Ragam seni rupa ornamen Aceh peninggalan masa lampau harus direvitalisasi dalam media modern agar tidak hilang ditelan zaman. Selain menjadi karya seni, ornamen itu juga menjadi bukti Aceh sangat beragam dan menjunjung toleransi.
Lebih rinci Nurlaila mengatakan, salah satu Seni Rupa ornamen Aceh yang pernah di pamerkan yaitu pada Festival Ornamen Aceh digelar pelataran Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh, pada bulan Juni yang lalu.
“Festival itu digagas para seniman di Laboratorium Seni Aceh Rakitan didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi,” kata Nurlaila, Rabu (18/11/2023).
Menurut Nurlaila, acara tersebut baru pertama kali digelar. Dengan tujuan untuk merevitalisasi agar ornamen Aceh tidak hilang digerus zaman.
“Melalui festival yang digelar tersebut, ornamen yang menjadi simbol estetik Aceh kita hidupkan kembali. Saat ini, ornamen Aceh hampir punah. Padahal ornamen adalah obyek utama seni rupa di Aceh,” ujar Nurlaila.
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, para seniman yang tergabung dalam Laboratorium Seni Aceh Rakitan mengumpulkan ornamen yang berserakan pada artefak peninggalan masa lalu, seperti kayu bangunan masjid tua, baju rompi, tas anyaman, dan batu nisan peninggalan abad ke-17 hingga ke-20.
Setelah dikumpulkan, Lanjut Nurlaila, ornamen pada artefak tersebut dilukis atau di sketsa ulang pada media kertas untuk dipamerkan kepada publik.
Ia menyebutkan, beberapa batu nisan berisi ornamen peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Malikussaleh, dan Kerajaan Lamuri juga ikut dipamerkan. Setiap batu nisan itu terdapat ornamen sebagai identitas kerajaan.
“Aceh punya ribuan ornamen, tetapi baru ratusan yang berhasil ditemukan. Hasilnya akan dirangkum dalam buku yang akan didistribusikan ke kampus ataupun usaha furnitur,” kata Nurlaia.
Nurlaila menjelaskan, ornamen adalah bagian dari kekayaan seni rupa Aceh masa lampau dan bagian dari aktualisasi kebudayaan. Beberapa ornamen hingga kini masih populer, seperti pucuk rebung atau bentuk anyaman.
“Ornamen Aceh banyak dipengaruhi seni dari luar, Arab, India, dan Eropa. Ini menandakan dulu kita sangat terbuka bagi dunia luar, sangat beragam, dan toleransi,” katanya.
Menurutnya, sebuah kerugian jika masyarakat Aceh melupakan kekayaan seni ornamen peninggalan masa lalu. Sebab, dalam setiap ornamen itu menyimpan peradaban dan nilai-nilai kehidupan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, ornamen tersebut harus dihidupkan kembali melalui ragam media modern. Harapannya agar kehadirannya tidak semakin jauh dari generasi muda, seperti menerapkannya dalam motif pakaian, bangunan kota, hingga fasilitas publik.
“Kami berharap generasi muda terinspirasi dan terlibat dalam pelestarian kebudayaan,” imbuhnya (ADV)