Sejarah Dan Biografi Group Rapa’i Pasee Raja Buwah

Oleh : Muhammad Yusuf Bombang (Apa Kaoy) | Ketua Umum  Group Rapa’i Pasee Raja Buwah

AcehHeadline.com,- Kelompok atau Rapa’i Pasee memang sudah ada di dalam Wilayah Kemukiman Buwah, Kecamatan Baktiya (setelah pemekaran menjadi Kecamatan Baktiya Barat) Aceh Utara, sejak ratusan tahun sebelum kemederkaan Indonesia. Bahkan  menurut cerita dari para orang tua secara turun-temurun, kelompok tersebut memang sudah ada sejak jaman kerajaan Pasee. Hingga jaman penjajahan Belanda kesenian rapa’i pasee tersebut terus aktif dan terkenal memiliki jumlah unit rapa’i terbanyak dan berkualitas serta disegani, termasuk tingkat kemampuan para Syehnya saat menghadapi lawan dalam setiap pertandingan (Uroh), sehingga Kemukiman Buwah dikenal dan diakui sebagai pusatnya rapa’i Pasee.

Konon menurut cerita dari seorang tokoh masyarakat Buwah (M.Djuned Anshari, 54 tahun, Kepala Sekolah Dasar Negeri Buwah) kepada saya sekitar tahun 1985, salah satu unit rapa’i pasee berukuran besar dan panjang, seukuran bedug, milik dari kelompok tersebut dirampas dan dibawa  oleh Belanda ke negerinya dan hingga sekarang masih tersimpan di museum negeri Belanda, Deen Haag.

Rapa’i pasee yang masih ada dalam kemukiman Buwah, juga di daerah-daerah lain sekitarnya, masing-masing unitnya diperkirakan umurnya ada yang  100-an tahun, 150-an tahun, 200-an tahun, 250-an tahun, 300-an tahun, bahkan ada yang lebih dari 400-an tahun. Unit-unit rapa’i yang diselamatkan dan dijaga dengan sangat baik oleh masing-masing pemiliknya, lalu diwariskan secara turun-temurun kepada anak-cucunya, biasanya adalah rapa’i-rapa’i yang berkualitas bagus, baik dari segi jenis kayu, dari segi kualitas bunyi, dari segi nilai historinya dan bahkan dari segi namanya yang sangat terkenal dan disegani saat dibawa dalam setiap pertandingan (Uroh).

Perlu juga untuk diketahui bersama bahwa rapa’i pasee tersebut setiap unitnya juga memiliki nama masing-masing yang diberikan oleh pemiliknya yang pertama. Nama-nama tiap unit rapa’i pasee tersebut antara lain, Raja Uleue, Putroe Ijo, Boh Beureutoh, Raja Himbee, Raja Saba, Raja Buwah, Ceureumen Apui, Geulanteu Cot Uroe, Putroe Neng, Sibuta Siblah, Raja Rimba, Si Bani Tualang, Si Raya Panyang, Si Geunta, Si Dara Ceudah, Si Rumeh Su, Si Leubot, Si Hitam Kleng, Si Manek Rho, Si Ceudah, Raja Tualang, Si Gapi dan lain-lain.

Sejak jaman Kemerdekaan Indonesia hingga era tahun 1970-an, kelompok Rapa’i Pasee Buwah dan beberapa kelompok lain sekitarnya masih aktif. Namun kemudian secara perlahan jenis kesenian ini terus menghilang, senyap, terlebih lagi disaat awal-awalnya masa konflik Aceh hingga masa diberlakukannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer  (DOM).

Dalam tahun 1987, saya yang saat itu masih berusia remaja (tentunya didukung penuh oleh Ayah saya yang pada jamannya memang orang yang sangat berperan terhadap keberadaan rapa’i pasee, baik di Buwah maupun Kampung lain sekitarnya) merasa terpanggil dan berinisiatif untuk menggerakkannya kembali kesenian rapa’i pasee yang sering saya lihat semasa kecil saya di kampung tersebut.

Yang sangat memprihatin, pada saat itu bahkan ada rapa’i pasee yang sudah dibuang, tidak diperdulikan lagi oleh pemiliknya. Ada balohnya (kayu bingkainya) yang sudah dijadikan sebagai tempat ayam bertelur, ada yang sudah dijadikan sebagai bantalan tempat membelah buah pinang, ada yang dijadikan tempat tampungan pembuangan air comberan, bahkan ada yang dibiarkan hingga tertanam dan lapuk dalam tanah.

Dalam tahun 1987 tersebut pula saya menemui satu per satu para pemilik rapa’i, para pemain dan para Syeh yang masih ada saat itu. Lalu saya mengundang mereka untuk menghadiri rapat yang saya adakan, dengan melibatkan para tokoh masyarakat serta  para Geuchik (Kepala Desa) yang ada dalam seluruh Wilayah Kemukiman Buwah.

Dalam rapat itu saya memohon  kepada mereka, agar semua unit rapa’i pasee yang masih ada berkenan untuk diperbaiki Kembali oleh masing-masing pemiliknya, dipasang kulitnya (membran).  Saya juga meminta kepada mereka untuk bersedia diadakan Latihan rutin minimal seminggu sekali.

Sebagai motivasinya saya berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa mereka akan saya bawa untuk ditampilkan di Banda Aceh pada suatu saat, apabila persiapannya sudah mantap. Karena ikut diyakinkan oleh Ayah saya dan Geuchik Amad (salah satu kepala Desa senior di Kemukiman Buwah) , yang kebetulan beliu adalah Paman saya, serta para tokoh orang tua lainnya, maka mereka bertambah yakin dan percaya pada janji saya tersebut.

Apalagi yang selama ini mereka ketahui bahwa saya di Banda Aceh memang telah lama bergabung dalam kelompok kesenian yang ada di Taman Budaya dan dianggap kenal dekat dengan Pejabat bidang kesenian dan Kebudayaan serta tokoh-tokoh Seniman.

Tahun 1989, dengan berbekal selembar surat dukungan dari Kepala Taman Budaya Aceh , Drs. Sujiman A. Musa, saya dari Banda Aceh pulang ke Buwah, Aceh utara.  Setelah beberapa hari keberadaan saya di Buwah, lalu saya mempersiapkan untu mengadakan rapat umum, bertempat  di Meunasah Gampong Cot Murong, Buwah. Melalui Geuchik Amad (Kepala Desa Meusah Hagu Buwah) saya mengundang seluruh pemilik dan pemain rapa’I, para Gechik (Kepala Desa dalam Kemukiman Buwah) dan para tokoh masyarakat.

Rapat umum tersebut juga turut dihadiri oleh Camat Baktiya (Teuku Syahril), Koramil Baktiya, Kapolsek Baktiya dan Komandan Pos TNI BKO di Kecamatan Baktiya (saat itu Aceh sedang berlaku masa DOM).  Dalam rapat umum itu saya mengumumkan bahwa  Rapa’i Pasee dalam Kemukiman Buwah harus diaktifkan kembali, namanya menjadi Group Rapa’i Pasee Raja Buwah. Nama itu saya ambil dari salah satu nama unit rapa’i  yang ada di Buwah, yaitu Raja Buwah, sebuah rapa’i legendaris milik umum (masyarakat pecinta rapa’i dalam Kemukiman Buwah) yang diwariskan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi.

Dalam rapat umum itu pula saya menunjuk dan meminta persetujuan serta dukungan dari seluruh peserta rapat bahwa yang menjadi Ketua Umum Group Rapa’i Pasee Raja Buwah adalah Geuchik Muhammad Ubit, atau akrab disapa dengan nama Geuchik Amad (Kepala Desa Meunasah Hagu Buwah, Geuchik senior yang masih aktif pada saat itu).

Sementara yang akan menjadi kelengkapan Pengurus lainnya boleh dipilih dan ditunjuk langsung oleh forum rapat dengan persetujuan Ketua Umum yang sudah saya tunjuk dan tetapkan. Alhamdulillah, demi mencapai tujuan bersama untuk keberadaan, perkembangan dan kemajuan Group Rapa’i Pasee Raja Buwah yang sudah terbentuk, semua peserta rapat sependapat dan sepakat dengan keputusan tersebut.

Karena tujuan sesusungguhnya saya membentuk Group Rapa’i Pasee Raja Buwah adalah demi untuk mempertahankan keberadaan kesenian rapa’i pasee, yang merupakan warisan turun-temurun dari pendahulu dalam Kemukiman Buwah. Sehingga yang menjadi anggota dan pengurus Group Rapa’i Pasee Raja Buwah, bahkan sampai ke generasi-generasi berikut nantinya, adalah masyarakat peminat kesenian rapa’i  dari seluruh Gampong (Desa) yang ada dalam Kemukiman Buwah serta masyarakat asal Buwah yang bertempat tinggal di luar Kemukiman Buwah.

Dengan dukungan Kepala Taman Budaya Aceh (Drs. Sujiman A.Musa), Wakil Gubernur Aceh (Purn. Mayjend TNI. Teuku Djohan), Guru saya/Pimpinan Teater Mata (Maskirbi), teman-teman para Seniman dan Wartawan, Muspika Baktiya dan Bupati Aceh Utara, maka  pada tahun 1991, seperti yang pernah saya janjikan, alhamdulillah 150 orang pemain rapa’i Pasee dari satu Kemukiman Buwah, Aceh Utara,  dan dari  Matang Keupula Kemukiman Madat, Aceh Timur, berhasil dan sukses saya tampilkan dalam bentuk Pertujukan tanding (Uroh) di Panggung Terbuka Taman Budaya Aceh, Banda Aceh.

Hasil dari penampilan perdana tersebut yang ikut digemakan oleh berbagai media massa saat itu ternyata sangat berpengaruh besar terhadap kebangkitan kembali kesenian rapa’i pasee. Hampir semua kampung yang pernah punya rapa’i pasee di Aceh Utara dan Aceh Timur kembali bersemangat, mengumpulkan dan memperbaiki kembali masing-masing unit rapa’i miliknya sekaligus ikut mengaktifkan kembali kelompoknya masing-masing.

Menyahuti gema tersebut, masih dalam tahun 1991, atas inisiatif dari salah satu Partai Politik, yaitu Partai Golongan Karya  (Golkar) Aceh Utara (Ketua Umum Golkar Provinsi Aceh saat itu dijabat oleh Purn. Mayjend TNI Teuku Djohan, yang juga sebagai Wakil Gubernur Aceh) dalam rangka merayakan HUTnya maka diadakanlah pertandingan (uroh) rapa’i pasee secara besar-besaran bertempat di Simpang Mulieng, Aceh Utara.

Festival Rapa’i Pasee atau pertandingan (Uroh) tersebut diikuti oleh seluruh kelompok rapa’i pasee yang kembali mulai aktif pada saat  itu di seluruh Aceh Utara, khususnya  bagian timur.

Tahun 1992 Group Rapa’i Pasee Raja Buwah diundang untuk tampil dalam acara peresmian kapal Perang RI di Pelabuhan Krueng Geukueh Lhokseumawe, Aceh Utara oleh Panglima TNI Jenderal Tri Sutrisno. Semua pemain, pendamping dan pengurus Group Rapa’i Pasee Raja Buwah yang hadir dalam acara tersebut sempat berfoto bersama Panglima TNI, Jenderal Tri Sutrisno. Lalu mereka mencetak dan membingkai foto tersebut untuk dipajang di ruang tamu rumah masing-masing.

Selain rasa kebanggaan, pajangan foto tersebut juga sangat berguna pada saat itu, karena Aceh sedang berlaku masa DOM. Tahun 1992 Group Rapa’i Pasee Raja Buwah diundang tampil ke Bandung oleh Mahasiswa Aceh. Tahun 1993 ikut Festival Rebana Tingkat Nasional Di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tahun 1993 ikut Festival Drum International di Ancol Jakarta. Tahun 1994 dan 1995 ikut Festival Istiqlal Jakarta. Tahun 1995 tampil dalam pertujukan U-Rock Musik (Kolaborasi Rapa’i Pasee dan Musik Rock) di Taman Budaya Banda Aceh. Tahun 2004 ikut tampil dalam acara Pekan Kebudayaan aceh (PKA) 4. Tahun 2007 tampil kolaborasi bersama kelompok musik Moritza Thaher dalam acara Thanks to The Work di Taman Budaya Banda Aceh. Tahun 2009 tampil dalam acara pembukaan Pekan Kebuyaan Aceh (PKA) 5 di Banda Aceh. Tahun 2015 tampil dalam acara Festival Rapa’i di Lam Reung Aceh Besar. Tahun 2015 tampil dalam acara Pembukaan Hari Nusantara di Banda Aceh.

Sejak Ketua Umum, Geuchik Muhammad Ubit, meninggal dunia Group Rapa’i Pasee Raja Buwah sempat terjadi kekosongan Ketua Umum beberapa saat. Agar keberadaannya tetap berjalan lalu kemudian saya, sebagai pencetus dan pendiri Group Rapa’i Pasee Raja Buwah, langsung mengambil sikap dan tindakan untuk memegang kendali sebagai Ketua Umum, dengan menunjuk langsung Geuchik Nazaruddin (Kepala Desa Meunasah Hagu Buwah) sebagai Ketua Harian.

Namun pada tanggal 10 Desember 2017 posisi Ketua Harian saya tunjuk Abdul Hadi, menggantikan Geuchik Nazaruddin, yang tidak memungkinkan lagi menjabat,  karena alasan sesuatu dan lain  hal. Sementara posisi sebagai Ketua Umum, karena belum menemukan orang yang tepat untuk menjaga dan mempertahankan keberadaan serta keberlangsungan Group Rapa’I Pasee Raja Buwah maka tetap saya jabat sendiri hingga sekarang.

Jenis Pemainan

Dalam Group Rapa’i Pasee Raja Buwah mempunyai dua bentuk atau jenis permainan, yaitu Uroh dan Rapa’i Dike Pasee.

  1. Permainan jenis pertama disebut Uroh. Uroh sifatnya adalah pertandingan dua kesebelasan, atau disebut kelompok atau group. Jenis rapa’i yang digunakan adalah rapa’I yang berukuran besar atau disebut juga dengan nama rapa’i gantung. Rapa’i besar tersebut digantung pada tempat gantungan terbuat dari bambu atau kayu yang kemudian disebut dengan nama seueng. Dimainkan atau ditabuh sambil berdiri serta saling berhadapan dua kelompok, atau group yang masing-masing dipimpin oleh seorang Syeh. Jumlah pemain masing-masing kelompok antara 20 sampai dengan 40.  orangaling bersahutan tabuhan rapai, saling menunjukkan kecerdasan dan ketangkasan dalam merespon lagu yang dibawakan oleh lawan. Jenis permainan Uroh ini tidak menggunakan syair, hanya memain lagu tabuhan rapai. Nama-nama lagu dalam permaian Uroh disebut lagi satu, lagu dua, lagu tiga, lagu lima, lagu tujuh, lagu Sembilan, lagu tigabelas, lagu tujuh belas, lagu duapuluh satu dan lain-lain.

 

  1. Jenis permainan kedua disebut Rapa’i Dike Pase Jenis permainan ini menggunakan rapa’i berukuran kecil atau disebut juga dengan nama rapa’i duek. Para pemainnya menabuh rapa’i dalam posisi duduk,  serta dikolaborasikan dengan 4 atau 6 unit rapa’i besar (rapa’i gantung) yang pemainnya berada di posisi belakang pemain rapa’i kecil dan menabuhnya sambil berdiri.  Permainan Rapa’i Dike Pasee ini menggunakan syair dan lagu yang dipimpim oleh seorang Syeh serta diikuti secara bersahutan oleh para pemain lainnya. Jumlah pemain rapa’I Dike Pasee antara 15 sampai dengan 17 orang. Syair-syair yang dibawakan dalam rapa’i Dike Pasee ini berisi puji-pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, kisah-kisah para Nabi, dan nasihat-nasihat tentang moral dan keagamaan. []

Banda Aceh, 23 Mei 2018.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *