Selaras Dengan Nilai Keislaman, Tari Kontemporer Tetap Punya Ruang di Aceh

BANDA ACEH – Kepala Bidang Bahasa dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Nurlaila Hamjah S.SOS mengungkapkan bahwa meskipun dikenal sebagai provinsi dengan budaya yang kuat dan kental dengan nilai-nilai keislaman, Aceh tetap memberikan ruang bagi seni kontemporer, khususnya dalam bentuk tari.

Menurut Nurlaila, para seniman di Aceh berupaya menggabungkan nilai-nilai keislaman dengan ekspresi seni kontemporer, menciptakan harmoni yang memperkaya warisan budaya Aceh.

“Tari kontemporer di Aceh tidak hanya menjadi bentuk ekspresi seni semata, tetapi juga mencerminkan semangat harmoni antara nilai-nilai lokal dan global. Dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keislaman, tanpa mengorbankan kreativitas dan inovasi,” kata Nurlaila, kepada acehheadline.com, Selasa (17/11/2023).

Dalam upaya menyelaraskan seni dengan nilai keislaman, Tari Kontemporer tetap mendapatkan dukungan dari pemerintah pemerintah Aceh maupun dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Aceh.

“Meskipun terdapat penyesuaian untuk menjaga kesesuaian dengan norma-norma agama, seni ini tetap mempertahankan ruangnya sebagai ungkapan kreativitas di tengah masyarakat Aceh yang kaya akan tradisi keislaman,” ujar Nurlaila.

Dengan mengakui dan menghargai nilai-nilai keislaman dalam setiap karya seni kontemporer, Aceh berhasil menjaga identitas budayanya sambil tetap terbuka terhadap dinamika perubahan zaman.

Hal ini, kata Nurlaila, dapat menciptakan keseimbangan yang harmonis antara warisan leluhur dan arus modernitas, membuktikan bahwa seni kontemporer memiliki tempat yang istimewa di tengah-tengah keberagaman budaya Aceh.

Sementara itu, Salah seorang alumni mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, diri baru mulai tertarik terhadap tari kontemporer saat kuliah di ISBI.

Syafrizal menjelaskan, pengetahuan tari kontemporer di Aceh masih sangat kurang. Ia mengaku baru paham kontemporer setelah semester III ISBI.

“Sampai semester III saya masih buta kontemporer. Apa itu dan belum lihat pertunjukan kontemporer di Aceh. Hanya tahu teori dari kampus. Tertarik kontemporer saat 2016, dan mulai belajar,” kata Safrizal.

Suatu waktu ia berangkat ke Kalimantan Timur mengikuti forum tari kontemporer. Safrizal menyadari, bahwa karya yang ia tampilkan di forum itu, masih di bawah standar. Karena itu ia terus menekuninya dan belajar giat.

Sebetulnya menurut Safrizal, Aceh selain kuat dengan tari tradisi, juga punya tokoh-tokoh tari kreasi. Salah satu tari kreasi Aceh adalah “Merusare-sare” yang pernah dapat juara 1 tingkat nasional.

“Tapi sejak itu kita tidak pernah dengar lagi ada karya kontemporer di tingkat nasional dari Aceh,” ungkapnya.

Menurutnya, meski terlambat tari kontemporer tetap punya ruang di Aceh. Beberapa kali menggelar tari kontemporer, peminatnya selalu ada.

“Meski di sisi lain banyak juga yang tidak berminat,” ujarnya.

Akan tetapi Syafrizal tetap optimis bahwa tari kontemporer akan tetap berkembang di Aceh, walau tidak sesemarak tari tradisi.

“Tari kontemporer sudah diterima. Asalkan tidak terlalu vulgar terutama kostum. Aceh harus punya pemahaman dengan ranah kontemporer ini,” pungkasnya (ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *