Situasi.id, OPINI – Ada kesan tersendiri bagi saya saat memahami dunia “pertikusan” di ibu kota. Hampir tiap hari saya mengamati, melihat, bertemu dengan tikus, baik secara langsung maupun tak langsung. Fenomena pertikusan ini tentu bukan saya saja yang mengalaminya, tetapi kemungkinan besar publik yang pernah berkunjung atau menetap di Jakarta juga sepakat bahwa tikus-tikus di Jakarta itu besar-besar.
Di mana-mana ada tikus di Jakarta. Di pinggir jalan, selokan, perkantoran, pasar, bahkan di tempat-tempat ibadah sekalipun. Malam minggu itu, sambil ngopi santai menikmati suasana malam minggu di Jakarta, teman saya, saya akrab memanggilnya sebutan Yanto, seorang yang sedang datang dan berjuang di Jakarta. Ia mengatakan bahwa pernah suatu waktu melihat tikus-tikus Jakarta sedang berkelahi dan mengakibatkan kucing jadi lari, katanya mungkin kucing tersebut takut dengan tikus yang badannya sama besarnya dengan kucing tersebut.
Sampai saat ini, saya masih heran dan bertanya-tanya mengapa tikus-tikus Jakarta yang badannya besar-besar, apakah itu karena monetisasi di Jakarta begitu kencang, atau karena memiliki kedekatan akses dengan pintu APBN. Soal ini saya masih melakukan aktivitas penelitian secara maraton, sebab saat terus menikmati dunia pertikusan di Jakarta, suatu waktu saya sempat juga terlihat tikus berukuran kecil di Jakarta, tetapi tikus tersebut bukan berada di pinggir jalan, dan bukan pula di perkantoran, bukan di gudang, bukan pula di ruang persidangan. Tetapi tikus kecil tersebut di asrama mahasiswa. Mungkin tikus kecil di asrama mahasiswa tersebut belum bertumbuh menjadi besar, begitu anggapan sementara saya saat itu.
Fenomena itu, terjadi saat saya sedang berbincang-bincang dengan teman-teman mahasiswa yang dalam status berjuang di Jakarta, tentu tepatnya di asrama mahasiswa. Saat itulah saya melihat secara tak sengaja bahwa ada tikus Jakarta yang berukuran kecil, tapi saya belum mengetahuinya secara pasti, apakah itu anaknya tikus atau bosnya tikus, yang pastinya bukan tikus jadi-jadian. Anehnya, beberapa teman saya saat saya sedang berbagi cerita tentang pertikusan, mereka tidak percaya bahwa saya sedang serius membicarakan tentang tikus, mereka justru tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala saat saya menguraikan gerak-gerik atau gelagat pertikusan di Jakarta.
Sebagai buktinya, suatu malam saya menggiring diskusi dengan melempar pertanyaan kepada teman-teman yaitu mengapa ya tikus-tikus Jakarta itu besar-besar? Kemudian melanjutkan, apakah tikus-tikus Jakarta itu dikategorikan sebagai tikus ibu kota, sehingga tikus itu besar dan berani lewat di hadapan manusia yang berlalu-lalang? Sehingga tikus-tikus Jakarta berbeda dengan tikus-tikus daerah yang berukuran kecil dan nyalinya hanya ada jika berada di belakang? Tawa terbahak-bahak pun dilepaskan oleh teman-teman saya mendengar renteten pertanyaan dari saya. Sehingga saya pun ikut tertawa dengan menegaskan kalimat; ini serius.
Teman-teman saya itu masih menganggap saya waktu itu sedang bercerita terkait satire pertikusan, bahkan ada yang menuduh saya sedang melakukan sarkasme. Namun, sangking ingin membuktikan kepada teman-teman saya itu bahwa diskusi terkait pertikusan ini serius, lantas saya coba buka sejarah terkait upaya pemberantasan tikus di tanah air. Waktu itu, masa kolonial Belanda, tepatnya saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda, masa itu petani di Indonesia pernah mengalami gagal panen akibat serangan tikus. Masa itu masyarakat, khususnya petani, saat hendak melawan tikus (membasmi tikus) langsung menyerang sarang-sarang tikus dengan memasukkan asap atau api ke sarang tikus di kawasan persawahan. Sarang tikus waktu itu masih dalam bentuk lubang tanah atau rongga yang bisa dijadikan tikus untuk bersembunyi.
Tidak hanya wawasan pertikusan di masa kolonial Belanda saja yang saya sampaikan sebagai bahan diskusi bersama teman-teman waktu itu. Saya bahkan menceritakan terkait bagaimana fenomena pemberantasan tikus-tikus di tahun 1999 hingga tahun 2000-an. Lanjut saya jelaskan, kalau tidak salah waktu itu ada seseorang yang nama belakangnya disebut Lopa, ia seorang yang saya anggap ahli hukum, ia ditugaskan oleh presiden Indonesia yang waktu itu juga dianggap tidak akur dengan wakil presiden, sehingga presiden tersebut dihantui oleh kekuatan super, orang-orang menyebut kekuatan super tersebut adalah Sidang Istimewa (SI).
Dengan penuh semangat dalam menguraikan wawasan pertikusan di Indonesia, saya terus membentang cerita bahwa sosok yang namanya hanya saya ingat sebagai Lopa, sosok ini terbukti orang hebat yang berani menangkap tikus-tikus besar, orang-orang menyebutnya tikus-tikus kelas kakap. Sempat waktu itu presiden Republik Indonesia yang kemudian dilengserkan dengan dihadapkan sebuah jeratan yang dilempar kepadanya, para pengamat pertikusan waktu itu menyebut nama perangkapnya sebagai kasus Bulog dan Brunei.
Presiden inilah yang memberikan kekuatan kepada Lopa, sehingga Lopa hampir sukses membasmi semua tikus-tikus besar waktu itu. Tetapi kehebatan Lopa dalam memberantas tikus-tikus besar tidak sesukses misi pemberantasan tikus masa kolonial seperti yang dialami oleh petani. Beda dengan Lopa, Lopa belum begitu kuat palunya untuk membasmi sarang-sarang tikus-tikus besar di tahun 1999 ke atas.
Dalam diskusi itu, saya mencoba membuat jeda berbicara agar dapat direspon oleh teman-teman saya dengan mengeluarkan pernyataan bahwa “Andaikan Lopa menggunakan Palu-nya Tor yang berkekuatan dewa petir, pasti tikus-tikus besar beserta sarang-sarangnya akan hilang di bumi Indonesia”. Akhir dari penyataan ini kemudian, saya, teman-teman saya menghempaskan tawa secara otomatis dan bersamaan. Saat tawa kami hampir terhenti, salah satu teman diskusi saya menanggapi dengan mengeluarkan pernyataan.
“Tikus-tikus Jakarta memang berengsek, mungkin itu karena dampak dari keberengsekan Jakarta sesuai judul tulisan Keberengsekan Jakarta yang kamu tulis kemarin”. Kami pun kembali tertawa dan kembali meminum kopi pancung yang hampir dingin karena keasyikan bercerita sambil diskusi dengan tema Tikus-Tikus Jakarta.
Zulfata – Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM)