Situasi.id, JAKARTA – Tiada hari tanpa berita. Berita memiliki pertalian dengan warta, liputan, wawancara, informasi, pewarta, jurnalis, industri pers dan seterusnya. Dampak pemberitaan dianggap mampu memperkuat negara dan bangsa serta menyuarakan hati nurani rakyat ke meja kompromi kekuasaan. Masa orde lama, orde baru, reformasi, hingga masa kemegahan korupsi hari ini telah banyak menjadikan berita-berita sebagai dokumen penting dalam upaya cerminan untuk menemukan berita-berita berengsek.
Berita berengsek adalah anti tesis dari prinsip pemberitaan yang menjunjung tinggi informasi secara berimbang, professional, kredibel dan memihak pada kepentingan publik. Seiring dengan perkembangan teknologi, algoritma dominan menyesaki dan mempengaruhi iklim pemberitaan nasional tentang apa yang telah, sedang dan akan terjadi di Jakarta, dari Jakarta merambat ke selokan desa-desa. Pemberitaan daerah dianggap tidak terlalu menarik jika dibandingkan dengan berita daerah. Berita tentang elite partai politik aktif mengudara, meracuni alam pikiran publik. hingga ke alam bawah sadarnya.
Tak terhenti di situ, berita-berita yang beredar telah mudah diprediksi hilirnya, baik dari sisi pola, hasrat, dan instrik maupun kepentingannya akan menguntungkan siapa. Jika suatu industri pers menerbitkan berita, konten beritanya akan mudah ditebak arahnya. Hari ini berita tidak lagi sesuatu yang sulit ditemukan, begitu juga menciptakannya. Orang-orang yang lincah berselancar di media sosial pun memproduksi, mengemas berita. Netizen hampir tidak ada bedanya dengan perusahaan media.
Hal ini, bukan berarti netizen lebih buruk dari perusahaan media, dan bukan pula perusahaan media lebih baik dari netizen. Namun yang menjadi keunikan adalah di tengah menyesaknya pemberitaan justru keadilan terasa semakin jauh. Kondisi ini secara tidak langsung menjadikan berita seperti preman, saling keroyok, seolah-olah siapa berita yang paling banyak itulah yang paling benar atau banyak mendapat dukungan publik.
Reting, viral, elektabilitas, popularitas seakan telah meminggirkan prinsip-prinsip jurnalistik seperti yang dicita-citakan kebebasan pers sebagai buah runtuhnya kekuasaan orde baru. Demikian juga soal jurnalis, semakin banyak jurnalis bukan berarti demokrasi semakin kuat. Keberadaan jurnalis yang berintegritas tampak sulit dibedakan dengan jurnalis bermuka seribu, bukan saja jurnalis bermuka dua. Jurnalis seperti ini lincah menyusup, sangking lincahnya, ia mampu mengelola konflik dua atau beberapa kubu politik atau perusahaan yang sedang bertikai.
Kriteria jurnalis, sedemikian memposisikan prinsip jurnalistik kian jauh berada di bawah praktik strategi marketing atau pemasukan finansial. Siapa yang mampu menertibkan liberalitas pelaku pembuat, peramu, pengedar berita-berita berengsek sedemikian?. Tampaknya seorang Presiden pun tak mampu mesti presiden dapat memerintahkan institusi militer tertinggi di negeri ini. Alih-alih menertibkan maraknya berita-berita berengsek, sosok presiden pun terkena dampak dari berita-berita berengsek tersebut. Semua bisa kena, rakyat kena, pejabat kena, polisi kena, jurnalis kena dan seterusnya. Mungkin kelanjutan ini akan sampai pada konsep otoritarian berita berengsek pada suatu negeri republik medsos (media sosial).
Menjelang Pemilu 2024, kehadiran berita-berita berengsek itu semakin menguat, bahkan hampir mendapat pemahaman maklum atau kelaziman bagi publik. Kebebasan pers diciptakan sejatinya untuk kebebasan berekspresi ternyata berhasil disulap menjadi kebebasan dalam nyinyir, mereka yasa, memecah-belah, adu domba, saling mencari-cari kesalahan, adu banyak pendukung, ladang pencitraan yang menjijikan, ancam-mengancam, panggung menampilkan kemunafikan akut para pemimpin.
Berita-berita yang sejatinya mengedepankan sisi fakta, infomasi berimbang dan mementingkan kepentingan publik bergeser menjadi berita orderan, kompromi oligarki, keberpihakan dan bertujuan untuk menghegemoni pikiran publik menuju penggelembungan suara dukungan. Zona abu-abu pemberitaan semakin pekat menutup zona mata air yang sejati dapat dijadikan sebagai obat penyembuh bagi kehadiran berita-berita berengsek.
Aksi maling teriak maling, main kucing-kucingan, pamer kebohongan seakan telah menjadi pemandangan berdemokrasi hari ini. Kepercayaan publik terhadap jurnalis dirasakan terus menipis, apalagi kepada perusahaan-perusahaan pers yang terindikasi mendapat aliran anggaran dari pemerintah atau bagian dari partai politik. Sehingga perusahaan pers yang berkelakuan sedemikian hampir sulit dibedakan dengan peran keberengsekan.
Barangkali, perusahaan sedemikian tidak dominan di Indonesia, mungkin tulisan nyeleneh ini ingin mengarah pada lampu kuning saja sebagai tanda pengingat kepada semua pelaku jurnalistik bahwa apakah benar dengan perkembangan pemberitaan hari ini dapat memperkuat demokrasi di Indonesia?, atau sebaliknya?.
Apakah mungkin, semakin banyaknya jumlah berita berdampak pada tranparansi di ruang publik? Atau sebaliknya yang justru mengelabui publik dengan tingginya pengalihan isu yang bertubi-tubi berganti atau berkutat dan membeku pada persoalan yang itu-itu saja?.
Benar bahwa kehadiran berita sangat penting, akumulasi informasi yang disampaikan akan mempengaruhi tingkat kewarasan semua pihak dalam menjalankan negara menuju cita-citanya. Namun tak semua berita yang beredar sedang menuju ke sana?, Sikap optimis dalam menyatakan bahwa kehadiran berita-berita berengsek akan semakin tinggi dibuktikan dengan kehadiran berita-berita yang berkolaborasi dengan partai politik, relawan yang tak rela sebagai relawan (relawan bayaran), preman berkedok jurnalis, hingga industri perjudian berwajah perusahaan pers.
Mengarungi, mencari serta memilih dan memilah, menyebarkan, informasi secara akurat, tepat dan bijaksana adalah suatu kecakapan yang mesti terus digairahkan di negeri ini. Jika tidak, bukan saja budaya korupsi yang terus mengakar di tanah air, juga budaya lintah jurnalistik yang semakin membuat demokrasi di negeri ini menjadi kurus dan kerempeng dan kemudian mati suri.
Benar, bahwa tanpa berita bangsa dan negara akan terus bergerak dalam dunia kegelapan, namun dengan tidak mematikan ekosistem berita-berita berengsek dapat dipastikan negara akan terus merasa terang dalam kegelapan dan semakin menyuramkan.
Zulfata – Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM)