Jalan-Jalan ke Jakarta

Situasi.id, JAKARTA Kota Jakarta dapat disebut sebagai salah satu kota yang sering dituju oleh rakyat Indonesia, dari warga pelosok desa hingga warga kota. Tak hanya itu, para pejabat, pedagang, pelajar, penceramah, pebisnis hingga broker pun sering datang ke Jakarta. Motif datangnya memang beragam, ada yang bermotif berjualan, menempuh pendidikan, berdakwah, menafkahi keluarga hingga hanya sekadar jalan-jalan menghilangkan efek ruwetnya dalam bernegara.

Membuktikan terkait hal ini, saya berusaha melakukan perjalanan melintasi beragam jalan di Jakarta, mulai dari jalan tol hingga mentok di gang sempit serta buntu. Hal ini saya lakukan selain dari upaya untuk memperkaya makna yang tersirat dalam tulisan ini, juga berusaha merawat silaturahmi guna semakin dalam memahami wawasan keberengsekan Jakarta.

Suatu malam, bahkan dapat disebut hampir tiap malam, saya melihat beberapa manusia yang tampak seperti piknik di pinggiran jalan, mereka tampak lelap dalam tidur dengan beratapkan langit, berselimutkan kardus bekas dan berbantalkan beton. Kondisi ini berada di depan gedung yang katanya memberantas korupsi. Kadang saya berfikir bahwa betul ini sesuatu yang cocok bagi pemandangan lingkungan gedung tersebut. Itu gedung yang katanya memberantas korupsi di negeri ini meskipun koruptor yang berada di ketiak partai politik besar tak kunjung ditangkap, juga di depan gedung itu dijadikan tempat istirahat bagi rakyat yang terdampak korupsi. Sungguh efek jalan-jalan di Jakarta menggiring saya begitu dalamnya memahami Jakarta.

Jalan-jalan ke Jakarta memang menarik untuk terus dicermati, maknanya melampaui arti destinasi wisata pada biasanya, menariknya karena bias makna dapat muncul ketika kata jalan-jalan disandingkan dengan Jakarta. Jalan-jalan ke Jakarta tak seutuhnya identik dengan cenderung menghabiskan uang, atau uang cepat habis. Jauh dari itu, jalan-jalan ke Jakarta juga dapat melipatgandakan uang melebihi anggapan orang-orang terkait kemampuan babi ngepet dalam mencuri uang.

Bagi kalangan tertentu yang jalan-jalan di Jakarta dapat mengendalikan, mendistribusikan serta menumpuk-numpukkan kekayaan, apakah itu untuk kepentingan pribadi, keluarga, mitra hingga untuk daerahnya. Dengan mahir Jalan-jalan di Jakarta, ABPN akan lancar mengalir ke daerah yang punya kemampuan untuk jalan-jalan tersebut. Jalan-jalan ke Jakarta bukan sebatas mengunjungi Monas, jauh dari itu jalan-jalan untuk mengetuk pintu-pintu ruangan DPR-RI dan sejenisnya, mengetuk pintu lintas Kementerian dan sejenisnya, hingga jalan-jalan untuk mengetuk pintu BUMN atau kantor para tuan oligarki.

Dengan kemampuan seseorang atau sekelompok orang yang lincah dalam melakukan perjalanan ke Jakarta, kesenjangan ekonomi, politik, pelayanan publik tanpa disadari justru luput menjadi perhatian mengenai faktor tidak meratanya kue pembangunan di Indonesia. Saya tidak ingin mengatakan bahwa jalan-jalan seperti ini disebut dengan perjalanan berengsek. Tetapi Jalan- jalan seperti ini cukup banyak menghantarkan seseorang atau sekelompok orang yang dianggap sukses, meskipun sukses dalam menyulap uang negara menjadi aset pribadi.

Tentu, dalam melakukan perjalanan ke Jakarta seperti yang dimaksud dalam tulisan ini tidaklah mudah. Agar lebih dapat melakukan perjalanan di Jakarta, seseorang sebaiknya harus menggunakan peta menunjuk arah, orang-orang menyebutnya “google maps”. Tanpa peta penunjuk arah tersebut, akan mengakibatkan banyak konsekuensi, di antaranya adalah sesat, mentok tembok, terjebak ke gang sempit, berputar-putar, terjebak macet, keletihan dan sebagainya.

Adapun, dengan peta penunjuk arah tersebut, seseorang akan dihantarkan sesuai keinginan, ini pun masih ada kecualinya yaitu, selama jaringan masih kuat. Tanpa adanya jaringan, dapat dipastikan orang yang melakukan praksis jalan-jalan ke Jakarta tidak akan kuat bertahan. Upaya menjaga jaringan tersebut tentunya perlu perawatan, pengorbanan, pembuktian kinerja, kepercayaan hingga soal loyalitas. Tanda beberapa hal yang disebutkan ini jaringan sebagai penuntun dalam melakukan perjalanan akan kacau, orang-orang menyebutnya, misalnya, tak ada sinyal untuk ke Senayan, tak ada sinyal untuk ke istana, tak ada sinyal untuk ke ketua umum partai politik dan seterusnya.

Berusaha memahami peta penunjuk arah di Jakarta memang tidak mudah dan tidak juga terlalu sulit. Peta penunjuk arah Jakarta tersebut tidak sama persis dengan peta DKI Jakarta, baik dalam hal pemilihan peta pemimpin untuk DKI Jakarta, maupun pada tata ruang di wilayah Jakarta. Sebab peta menunjuk arah di Jakarta tersebut memiliki irisan dan kepentingan dengan peta-peta di daerah, terutama bagi daerah yang memiliki nilai kekayaan alam dan sumber daya manusianya yang berlimpah. Seperti misalnya karena keberadaan tambang atau faktor jumlah penduduk.

Dengan memahami simpul kekuasaan di Jakarta, secara tidak langsung para peminat yang ingin melakukan perjalanan serta ingin membuka tabir peta penunjuk arah di Jakarta akan sedikit diberikan pencerahan soal ini. Jika tidak, yang terjadi hanya sebatas jalan-jalan di Jakarta, selebihnya tidak akan didapat kedalaman sensasinya. Disadari atau tidak, tanpa peta tersebut, upaya untuk jalan-jalan ke Jakarta dapat dikatakan akan mendapat kenikmatan yang dangkal.

Cara lain untuk bisa melihat, membuka bahkan menjalani apa yang di dalam peta penunjuk arah tersebut adalah dengan cara sering menjalankan petunjuk-petunjuk dari gerbong penyusun peta. Dalam konteks ini dapat diketahui sesungguhnya ada banyak peta yang dibuat dan kemudian akan dikombinasikan menjadi satu peta induk, yaitu peta kemenangan. Para pengamat politik biasanya ramai membicarakannya pada saat penyusunan kabinet Presiden terpilih yang siap-siap untuk dilantik.
Mengulik soal kajian ini terkadang saya teringat kalimat yang mengatakan “banyak jalan menuju roma”. Begitu juga dengan Jakarta, banyak jalan menuju Jakarta, ada lewat samping, depan, belakang atau atas. Tetapi yang jelas saat melakukan perjalanan ke Jakarta dengan melewati jalur atas, tentu terasa sangat spesial dengan tidak menyebutnya sebagai jalan keramat. Jalan ini seakan melewati karpet merah, berada di atas angin hingga lupa daratan.

Sehingga, tak jarang kita menemukan orang-orang yang pernah jalan-jalan ke Jakarta terkadang dapat membuat ia lupa diri. Misalnya lupa diri bahwa jabatannya itu untuk melayani rakyat, bukan menipu rakyat. Bukan memperkaya diri dan bukan pula menggadai negeri ini dengan menciptakan berbagai rekayasa yang seolah-olah rakyat Indonesia sangat membutuhkan perannya. Siapakah golongan tersebut?, jawabannya ada di dalam pemaknaan keberengsekan Jakarta.

Zulfata – Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *