Apa Kaoy: Cikal Bakalnya Rapa’i Pasee dari “Pruk-Pruk”, Kadisbudpar Aceh Optimis dan Berkomitmen Terus Melestarikannya

AcehHeadliene.com | Banda Aceh,- Seni tradisi yang tersebar di sepanjang daerah pesisir Aceh merupakan warisan budaya yang sangat beragam dan unik. Terdapat berbagai macam seni yang berasal dari wilayah-wilayah pesisir Aceh, diantaranya rapa’i pasee, rapa’i pulot, rapa’I grimpheng, rapa’i daboh, rapa’i geleng, tari seudati (dulunya oleh orang Aceh pesisir juga mejebutnya seni saman), tari poh kipah, Alee tunjang dan lain-lain sebaginya yang masing-masing memiliki kekhasannya tersendiri.

Rapa’i pasee adalah seni musik tradisi yang sangat khas dari wilayah pusat Kerajaan Pasee (sekarang wilayah  Aceh Utara). Rapa’i pasee dahulu biasanya dimainkan saat-saat upacara menyambut tamu agung di istana kerajaan, saat upacara akan memulainya suatu peperangan dan upacara merayakan kemengan peperangan. Lalu kemudian seiring dengan perkembangannya juga sering diadakan saat-saat usai musim panen padi, upacara tolak bala, upacara-upacara adatakan mengakhiri saat acara-acara adat, dalam rangka menyemarakkan suatua perayaan dan dalam  acara festival seni-budaya lainnya.

Rapa’i pasee sendiri merupakan sebuah alat musik tradisional Aceh yang berasal dari wilayah Kerajaan Pasee. Bingkainya (disebut baloh)  dibuat dari pohon kayu berukuran besar yang berjenis kayu tualang dan murbai (meureubo). Sementara membrannya dari kulit sapi pilihan yang sudah keringkan terlebih dahului. Cara memainkan dibuat tempat gantungan setinggi dua meter, dan pemainnya menabuh sambal berdiri tanpa menggunakan alat, langsung menabuhnya dengan tangan.

Wilayah Pasee yang dahukunya adalah sebuah Kerajaan di Pulau Sumatera, kemudian menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Aceh Utara yang Ibukotanya Lhokseumawe.  pusat perdagangan dan tempat berkumpulnya warga sekitar sejak zaman kolonial Belanda.

Nama atau julukan Pasee itu sendiri menurut suatu versi cerita konon berasal dari kata Pasir, sebuah pasar yang awalnya berdiri di atas lahan pasir. Istilah Pasee ini juga merupakan sebutan untuk daerah Pasai, salah satu nama Gampong (Desa) di wilayah Kecamatan Bayu Kabupaten Aceh Utara.

Menurut versi lainya, nama Pasee juga merujuk pada kata “Pesisir”  yang artinya adalah daerah  pantai, karena lokasi pasarnya yang berada di tepi laut.

Munurut seorang tokoh Budayawan Aceh, yang juga Ketua Umum Grup Rapa’i Pasee Raja Buwah, Muhammad Yusuf Bombang atau lebih dikenal dengan nama Apa Kaoy,  menjelaskan bahwa sebenarnya cikal-bakalnya rapa’i pasee adalah dari pruk-pruk.

Jauh sebelum islam masuk dan berkembang di wilayah Kerajaan Pasee, kata Apa Kaoy, alat musik pruk-pruk sudah berkembang dan sangat popular, dimainkan oleh kalangan anak-anak dari dangaunya masing-masing, dengan saling bersahutan, saat mereka sedang menjaga padi di sawah dari serbuan burung-burung pipit.

Pruk-pruk adalah alat musik tabuh yang terbuat dari batok (tempurung) kelapa dan membrannya terbuat dari upih pinang tersebut kemudian juga suka dimainkan oleh kalangan orang dewasa, juga dalam rangka kebutuhan mengusir kawanan burung pemakan padi yang sedang menguning di sawah.

Sehingga, jelas Muhammad Yusuf Bombang, menurut cerita sejarah yang dituturkan secara turun-temurun, pada awalnya para penyi’ar Islam masuk ke Wilayah Pasee melihat mainan anak-anak yang bernama pruk-pruk tersebut  menarik perhatian bagi mereka. Kelompok para penyi’ar Islam yang terdiri dari kalangan pengikut garis kelompok Syeh Abdul Kadir Djailani tersebut terinspirasi untuk mengembangkan pruk-pruk sebagai media atau atau alat penarik untuk mengumpulkan masyarakat. Pruk-pruk mulai dikembangkan oleh mereka, bingkainya (baloh) dibuat dari pangkal pohon pinang (utom pineung) dan membrannya dibuat dari kulit kambing. Para pemainnya (penabuh) juga bukan lagi anak-anak, tetapi dilatih khusus dari kalangan para pemuda dan orang dewasa.

Lama-kelamaan, permainan alat musik tabuh pruk-pruk yang dikembangkan oleh kelompok Syeh Ahmad Rifa’I tersebut, penerus dari Syeh Abdul Kadir Djailani, semakin berkembang, popular dan sangat digandrungi oleh masyarakat setempat. Setiap mendengar akan adanya pertunjukan pruk-pruk masyarakat setempat dan sekitarnya akan berkumpul untuk menyaksikan.

Oleh masyakat setempat kemudian permainan seni yang menarik itu disebut Rapa’I, asal kata dari nama Syeh Ahmad Rifa’I, orang yang pertama sekali mengembangkan secara luas jenis permainan tersebut. Di tengah-tengah berlangsungnya permainan seni rapa’I, para tokoh penyebar dan pensyi’ar Islam tersebut berdakwah untuk untuk menyampai agama kebenaran, yaitu Islam.

Masih menurut penjelasan Muhammad Yusuf Bombang, semakin hari kesenian rapa’i semakin berkembang. Bahan, bentuk dan ukurannya juga mengalami perubahan. Rapai dari yang sebelumnya bingkai (baloh) dari pangkal pohon pinang (utom pineung) dan membran dari kulit kambing mulai ditinggaikan, berganti ke jenis rapai yang balohnya terbuat dari bahan pohon kayu besar jenis tualang dan murbai (meureubo) dan kulitnya dari bahan kulit sapi pilihan yang sudah dikeringkan dan diawetkan.

Ukuran kedalam balohnya antara 40 sampai dengan 60 cm. Lingkaran bingkainya (baloh) berkisar antara 40 sampai dengan 80 cm. Beratnya antara antara 15 sampai dengan 60 kg. Bahkan pernah juga dibuat yang ukuran dan bentuknya seperti beduk, yang contohnya, menurut suatu informasi, sekarang masih ada tersimpan di museum Negeri Belanda, di Den Haag. Belanda merampasnya dari masyarakat di Kemukiman Buwah (sekarang ada dalam Wilayah Kecamatan Baktya Barat, Aceh Utara) saat mereka menjajah tanah Aceh.

Ukuran berat dan besar serta bentuknya  yang sering mengalami perubahan diperkirakan  ada kaitannya dengan permasalahan transportasi saat membawanya kemana-mana pada saat itu yang hanya menggunakan tenaga manusia. Sementara tempat pertunjukannya tidak lagi hanya di kampung setempat, tetapi jauh ke kampung-kampung lainnya dalam Wikayah Kerajaan Pasee.

Seiring dengan semakin berkembangnya Islam ke seluruh Wilayah di Sumatera (belum disebut Aceh pada saat itu) kesenian rapa’i pun ikut dikembangkan oleh para Penyi’ar Islam. Tetapi bentuk model rapa’I tidak dibawa  dari yang telah berkembang di Pasee, namun para penyi’ar islam tersebut lebih menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Sehingga Namanya ada yang disebut rapa’I grimpheng, rapa’I pulot, rapa’I daboh, rapa’I geleng, rapa’I pulo, rapa’I lipek dan lainnya sebagainya. Sehinngga oleh para tamu yang berkunjung ke Pasee, saat melihat ada jenis rapa’i yang berukuran sangat besar dari yang biasa dilihatnya, mereka menyebutnya rapa’i Pasee.

Demikianlan sejarah cikal-bakal dan asal-usul rapai pasee serta seluruh jenis kesenian rapa’I lainnya yang berkembang hingga saat ini di seluruh Aceh, sebut Muhammad Yusuf Bombang alias Apa Kaoy, tokoh Budayawan Aceh yang sangat fokus dan konsisten mempopulerkan Kembali rapa’i Pasee sejak tahun 1987, serta membentuk dan memimpin Grup Rapa’I Pasee Raja Buwah hingga sekarang.

Rapai Pasee Raja Buah

Group Rapai Pasee Raja Buah dalam sebuah Acara di Kemukiman Buah, Baktiya Barat, Aceh Utara | Foto Dok: Group Rapa’i Pasee Raja Buwah.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Aceh, Almuniza Kamal, S.STP, M.Si, menuturkan, pada masa kekuasaan Orde Baru, rapai pasee sempat dilarang oleh pemerintah Indonesia. Hal ini dikarenakan hubungannya dengan identitas Aceh yang dianggap dapat membahayakan keutuhan Negara. Namun, setelah reformasi tahun 1998, rapai pasee kembali dianggap sebagai warisan budaya Aceh yang harus dilestarikan.

Kini, rapai pasee menjadi bagian penting dari budaya Aceh. Pada tahun 2010, bahkan dijadikan sebagai salah satu ikon pariwisata Aceh. Banyak pengunjung dari berbagai negara datang ke Aceh untuk menyaksikan pertunjukan rapai pasee dan mempelajari lebih lanjut tentang tradisi musik yang kaya ini.

Meskipun Rapa’i Pasee telah menjadi bagian dari identitas budaya Aceh, namun Almuniza Kamal mengungkapkan bahwa saat ini seni tradisional ini mulai mengalami penurunan minat dari generasi muda. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti modernisasi dan pengaruh budaya asing.

Namun, Almuniza Kamal tetap optimis dan berkomitmen untuk terus melestarikan rapa’i pasee. Ia berharap bahwa generasi muda dapat lebih memahami dan mencintai seni tradisional ini, sehingga seni tradisional ini tetap bisa dijaga dan dilestarikan untuk generasi-generasi yang akan datang.

Demikianlah kata Almuniza Kamal. Semoga ini dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang seni tradisional Aceh yang sangat berharga ini.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *