AcehHeadline.com | Banda Aceh,- Rapa’i geleng Aceh merupakan salah satu jenis tarian tradisional Aceh yang sangat terkenal. Tarian ini dilakukan oleh para penari yang mengenakan pakaian tradisional Aceh yang indah dan diiringi dengan musik tradisional Aceh yang khas. Tarian rapai geleng menjadi media syiar Islam di Aceh pada masa dulu, Selain memiliki nilai budaya rapa’i geleng juga jadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Aceh.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Aceh, Almuniza Kamal, S.STP, M.Si menyebutkan, rapa’i geleng Aceh bukan hanya sebuah tarian tradisional yang indah, namun juga memiliki makna dan nilai-nilai yang sangat penting bagi masyarakat Aceh. Tarian ini mengandung unsur-unsur keindahan, kekompakan, dan kerukunan antar sesama penari. Melalui tarian ini, masyarakat Aceh dapat menunjukkan rasa syukur dan kebahagiaan dalam acara-acara adat dan keagamaan.
Dalam perkembangannya, Rapa’i Geleng Aceh juga menjadi salah satu ikon budaya Aceh yang sangat terkenal dan menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke Aceh. Dengan demikian, tarian ini tidak hanya memiliki nilai budaya yang tinggi, namun juga memiliki potensi sebagai sumber pendapatan ekonomi bagi masyarakat Aceh.
Demikianlah kata Almuniza Kamal tentang Rapa’i Geleng Aceh, semoga dapat memberikan gambaran tentang keindahan dan makna dari tarian tradisional Aceh ini.
Tarian ini biasanya dilakukan pada acara-acara adat dan keagamaan seperti pernikahan, sunatan, upacara adat, maupun pada saat perayaan hari besar agama Islam, namun seiring perkembangan jaman Rapa’i Gelang juga sering ditampilkan di acara event-event dan kegiatan seni dan budaya baik di Aceh maupun di tingkat nasional.
Cikal Bakal Seni Tradisional Rapa’I Geleng Menurut Seorang Tokoh Budayawan Aceh, Apa Kaoy
Rapa’i Geleng Aceh merupakan salah satu jenis tarian tradisional Aceh yang sangat terkenal. Tarian ini dilakukan oleh para penari laki-laki yang mengenakan pakaian tradisional Aceh yang indah dan diiringi dengan musik rapa’i berukuran kecil, ringan danyang khas.
Tarian rapai geleng menjadi media syiar Islam atau media dakwah di Aceh, khususnya di wilayah pesisir pantai Selatan aceh. Tarian ini biasanya dilakukan pada acara-acara adat dan keagamaan seperti pernikahan, sunatan, upacara adat, maupun pada saat perayaan hari besar agama Islam,
Rapa’i Geleng adalah juga sebuah tarian etnis Aceh yang berasal dari Manggeng, Aceh Barat Daya. Namun sayangnya tidak diketahui siapa tokoh yang yang pertama sekali mengembangkan seni tari rapa’i tersebut di Aceh Barat Daya.
Menurut sebuah informasi, Rapa’i Geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Aceh Selatan. Saat itu tarian ini dibawakan pada saat mengisi kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar. Lalu, tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat membuat daya tarik penonton yang sangat banyak.
Namun menurut penuturan seorang tokoh Budayawan Aceh, Muhammad Yusuf Bombang atau lebih dikenal dengan nama Apa Kaoy, orang sangat consent mempelajari asal-usul sejarah rapa’i pasee dan mempopulernya Kembali sejak tahun 1987, bahwa semua jenis rapa’i yang tersebar di seluruh Aceh, termasuk rapa’i geleng, cikal-bakalnya adalah rapa’i pasee.
Seiring dengan berkembangnya Islam ke seluruh penjuru Aceh, kesenian rapa’I juga ikut berkembang. Namun para penyi’ar Islam tersebut bukannya memabawa jenis alat music rapa’I seperti yang sudah terlebih dahulu berkembang di pasee, tetapi mereka membuat rapa’i dengan bentuk, ukuran dan model permainan yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Maka masing daerah atau tempat berbeda pula jenis rapa’I dan model permainannya.
Masih menurut Muhammad Yusuf Bombang, cikal-bakal rapa’i pasee itu sendiri adalah dari sebuah alat musik yang sangat sederhana bernama Pruk-Pruk, alat musik mainan anak-anak saat mereka menjaga padi yang mulai menguning di sawah. Pruk-pruk dibuat batok atau tempurung kelapa sebagai binggaki atau balohnya. Sementara membrannya dari upih pinang. Anak-anak memainkannya (menabuh) dari rangkangnya (dangau) masing-masing, dengan saling bersahutan bunyi satu sama lainnya. Saat pru-pruk itu berbunyi yang memenuhi seluruh persawahan, burung-burung pipit pemakan biji padi pun berterbangan karena ketakutan.
Pada awal mula kedatangan para penyi’ar Islam ke Pasee, melihat kalangan anak-anak memainkan pruk-pruk tersebut sangat menarik perhatian mereka. Terinspirasi dari alat music mainan anak-anak tersebut kemudian para penyi;ar Islam dari kelompok Syeh Ahmad Rifa’I (pengikut Syeh Abdul Kadir Djalaini) mengembangkan alat music itu dari yang sebelumnya hanya sebuah mainan anak-anak dibuat menjadi lebih serius. Pruk-pruk lalu dibuat dari pangkal pohon (utom) pinang dan membrane dibuat dari kulit kambing. Para pemainnya pun dilatih khusus dari kalangan pemuda dan orang dewasa. Pertunjukannya semakin sering diadakan di berbagai tempat dan masyarakat setempat berduyun-duyun dating menonton.
Permainan alat musik tabuh pruk-pruk yang dikembangkan oleh kelompok Syeh Ahmad Rifa’I tersebut semakin berkembang, popular dan sangat digandrungi oleh masyarakat setempat. Setiap mendengar akan adanya pertunjukan pruk-pruk masyarakat setempat dan sekitarnya akan berkumpul untuk menyaksikan.
Oleh masyarakat setempat kemudian permainan seni yang menarik itu disebut Rapa’i, asal kata dari nama Syeh Ahmad Rifa’i, orang yang pertama sekali mengembangkan secara luas jenis permainan tersebut. Di tengah-tengah berlangsungnya permainan seni rapa’i, para tokoh penyebar dan pensyi’ar Islam tersebut berdakwah untuk untuk menyampai agama kebenaran, yaitu Islam.
Seiring dengan permainan pruk-pruk yang semakin berkembang dan disukai masyarakat, alat music tersebut pun semakin mengalami perubahan bentuk dan ukurannya. Bahan, bentuk dan ukurannya juga mengalami perubahan. Rapai dari yang sebelumnya bingkai (baloh) dari pangkal pohon pinang (utom pineung) dan membran dari kulit kambing mulai ditinggaikan, berganti ke jenis rapai yang balohnya terbuat dari bahan pohon kayu besar jenis tualang dan murbai (meureubo) dan kulitnya dari bahan kulit sapi pilihan yang sudah dikeringkan dan diawetkan.
Ukuran kedalam balohnya antara 40 sampai dengan 60 cm. Lingkaran bingkainya (baloh) berkisar antara 40 sampai dengan 80 cm. Beratnya antara antara 15 sampai dengan 60 kg. Demikian menurut penjelasan Muhammad Yusuf Bombang atau akrab disapa dengan panggilan Apa Kaoy.
Cara Memainkan Rapa’I Geleng
Sementara Keberadaan dan perkembangan rapa’i di daerah pesisir pantai selatan Aceh yang sekarang dikenal dengan nama rapa’i geleng dari awal keberadaannya memang digunakan sebagai media dalam menyiarkan islam dan media dakwah.
Rapa’i geleng juga lebih dikenal dengan nama tari rapa’i geleng. Karena dalam permainan lebih menonjolkan gerak dan syair. Tari rapa’i geleng ini dimainkan oleh kaum laki-laki, biasanya terdiri dari 12 penari dan 2 orang syahi (pelantun syair). Syair yang dibawakan adalah sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi. Kostum yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah, ujar Wardi, salah seorang Pemain rapa’I geleng di Banda Aceh.
Rapa’i Geleng Aceh memiliki gerakan yang khas dan unik. Penari-penari yang terdiri dari pria dan wanita membentuk lingkaran dan berdiri saling berhadapan. Di tengah-tengah lingkaran terdapat seorang pemimpin atau yang biasa disebut juru pencak yang memimpin gerakan tari.Gerakan tariannya yang khas adalah dengan mengepalkan tangan dan menepuk-nepuk lutut secara bergantian, yang disebut dengan istilah “geleng-geleng”.
Selain gerakan, “geleng-geleng”, Rapa’i Geleng Aceh juga memiliki gerakan-gerakan lain seperti mengangkat tangan ke atas, membungkuk, dan meloncat. Gerakan tarian yang indah dan dinamis ini diiringi dengan alat musik tradisional Aceh seperti rapa’i, serune kalee, seukee, dan dabadaba yang menjadi sebuah nada yang indah yang memuat memukau penonton yang menyaksikannya.