Produsen Minyak Herbal But-But Membuka Mata Pengunjung Pekan Kebudayaan Aceh ke-8

BANDA ACEH – Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8, dengan tema “Rempahkan Bumi Pulihkan Dunia,” berhasil memukau pengunjung di Taman Sultanah Safiatuddin, Banda Aceh, sejak 4 hingga 12 November 2023. Kabupaten Bireuen menjadi sorotan utama dengan produk olahan lokal yang tak hanya memikat mata tetapi juga menceritakan sejarah dan memperkaya keberagaman budaya dan kearifan lokal yang perlu dilestarikan.

Salah satu produk andalan yang mencuri perhatian adalah “Minyeuk But But,” sebuah minyak herbal yang terbuat dari sari daging burung but-but. Proses ekstraksi sari daging burung ini menghasilkan minyak yang memiliki beragam khasiat, seperti mengatasi cidera patah tulang, mengobati gatal pada kulit, serta penyakit asma dan ambeien. Kisah unik bermula dari pengalaman burung Gut gut yang sembuh setelah dijilat mamaknya, dan produk ini telah menjadi warisan turun temurun di Bireuen.

pka ke-8
(kiri) minyak But-but. (tengah) minyak Moun. (kanan) Jeurenang. (Foto: acehheadline/IWN)

“Dulu burung Gut gut ini patah kaki terus dijilat jilat sama mamaknya jadi sembuh, itulah dasar sejarahnya. Lalu orang tua dulu mengambil dagingnya untuk diolah menjadi minyak But-but. Khasiatnya sangat beragam, dari minyak urut patah tulang hingga obat gatal-gatal, Ambeien, dan obat Iritasi kulit. Namun, hanya untuk dioleskan dan tidak untuk diminum. Produk ini sudah ada sejak zaman dahulu dan dapat ditemukan di pasar-pasar lokal di Bireuen,” terang Suriani salah seorang perwakilan dari anjungan Bireuen, Jum’at (10/11/2023).

Meskipun “Minyak But But” sudah dipasarkan, Suriani menegaskan bahwa saat ini masih terbatas untuk pasar lokal. Namun, potensinya untuk menjadi produk yang lebih luas diakui sangat besar dan bisa menjadi kebanggaan untuk daerah tersebut.

“Kita sudah pasarkan juga tapi belom keluar artinya masih untuk lokal saja,” jelasnya.

Produk olahan lain yang turut memikat perhatian adalah “Minyeuk Mon,” minyak tradisional yang terbuat dari kelapa (Cocos nucifera L.). Minyak ini memiliki manfaat sebagai obat masuk angin, demam, dan sakit kepala. Proses pembuatannya melibatkan delapan tahapan, mulai dari pemilihan bahan baku hingga pengemasan produk.

Tidak kalah menarik adalah “Jeurenang” yang juga memiliki manfaat serupa, khususnya pada getahnya yang digunakan untuk pengobatan penyakit sakit perut, batuk berdarah, buang air besar berdarah, pendarahan pasca melahirkan, dan luka. Selain itu, buah jernang memiliki fungsi ekologis sebagai pewarna pakaian alami, menunjukkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Pameran ini juga memperkenalkan “Kitab Perubatan” dari abad ke-18 hingga ke-19 M, yang berisi doa-doa, azimat, dan resep perubatan menggunakan tumbuhan-tumbuhan sekitar. Kitab ini menggunakan komoditi rempah-rempahan seperti lada, cengkeh, bunga lawang, opium, dan campli puta dalam meracik obat-obatan tradisional.

Sejalan dengan itu, “Kitab Minhaj” berjudul “Al-Minhaj At-Thalibin” karya Syaikh Syarifuddin An-Nawawi (Imam Nawawi) dari abad ke-19 M, membahas hukum-hukum fikih dengan 70 bab yang mencakup ibadah dan muamalah.

Sejarah uang dan benda berharga Aceh terungkap melalui Dirham Emas Sultan Ahmad Malik Az-Zahir II dan Dirham Emas Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin. Keduanya memberikan wawasan tentang mata uang zaman dahulu, dengan berat 0.6 gram dan mutu 18 K untuk Sultan Ahmad Malik Az-Zahir II, serta mutu 20 K untuk Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin. Mata Uang Dollar Spanyol, atau yang dikenal sebagai Ringgeit Meuriam, juga menjadi bukti transaksi perdagangan masa lalu di Kesultanan Aceh Darussalam.

Pameran ini tidak hanya menggoda selera dan menampilkan keindahan benda-benda bersejarah, tetapi juga menyoroti keberlanjutan warisan budaya dan kearifan lokal. Produk-produk lokal yang dipamerkan mencerminkan kekayaan budaya, kuliner, dan tradisi masyarakat Aceh, khususnya di Kabupaten Bireuen. Dengan demikian, pelestarian warisan budaya menjadi semakin penting untuk dijaga dan diteruskan kepada generasi mendatang.

Pentingnya pelestarian warisan budaya dan kearifan lokal semakin tergambar dengan adanya pameran tentang keramik-keramik dari Peulimbang. Mangkok keramik utuh dan pecahan-pecahannya yang berasal dari Dinasti Ming dan Qing (Cina) serta dari Thailand, ditemukan di Gampong Plimbang Tuha, Kecamatan Peulimbang, Kabupaten Bireuen.

pka ke-8
Mata uang kuno dan kita serta kitab jaman dulu yang sudah ada sejak abad ke 18 M. (Foto: acehheadline/IWN)

Keramik-keramik ini bukan hanya menjadi saksi bisu perdagangan dengan bangsa Cina dan negara-negara lain di masa lalu, tetapi juga mencerminkan keindahan seni dan keahlian kerajinan tangan masyarakat Aceh.

Selain itu, “Keurandam Gapu,” yang berfungsi sebagai wadah untuk kapur dalam kebiasaan memakan sirih orang Aceh pada abad ke-19-20 M, menjadi salah satu bukti konkret kehidupan sehari-hari dan tradisi unik di Aceh. Keurandam ini terbuat dari logam kuningan dengan hiasan khas Aceh, menciptakan hubungan antara keindahan seni dan fungsionalitas dalam kehidupan masyarakat setempat.

Pameran ini tidak hanya menghadirkan benda-benda bersejarah, tetapi juga merangsang rasa ingin tahu akan sejarah dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh Aceh. Transaksi perdagangan masa lalu yang tercermin melalui mata uang Dollar Spanyol dan keramik-keramik dari Peulimbang menjadi saksi bisu perjalanan waktu dan interaksi budaya yang kaya. Keseluruhan pameran ini tidak hanya sebagai tempat mengenang masa lalu, tetapi juga sebagai panggung untuk mempromosikan dan melestarikan keberagaman warisan budaya Aceh.

Melalui Pekan Kebudayaan Aceh ke-8, harapannya bukan hanya untuk memberikan pengalaman yang memikat kepada pengunjung, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga, melestarikan, dan menghargai keberagaman budaya dan warisan lokal. Dengan adanya upaya ini, diharapkan generasi mendatang akan tetap terhubung dengan akar budaya mereka dan menjadi penjaga kekayaan warisan yang tak ternilai harganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *