Kota Langsa Pamerkan Sejumlah Barang Antik di Ajang PKA ke-8

BANDA ACEHKota Langsa membawa berbagai harta bersejarah yang memukau di Ajang ajang PKA ke-8 yang diselenggarakan di Banda Aceh. Beberapa barang antik yang sudah ada sejak zaman kerajaan Perlak hingga masa kolonial Belanda telah menjadi daya tarik utama.

pka ke-8
Al-Qur’an tulisan tangan yang usianya telah mencapai 334 tahun dan 399 tahun. Senjata masa kolonial Belanda sejak abad ke 18m. (Foto: acehheadline/IWN)

Salah seorang panitia anjungan kota Langsa, Khairil Anwar mengatakan bahwa mereka memiliki salah satu Al-Qur’an Tulisan Tangan yang melampaui Usia 3 Abad.

“Salah satu harta terbesar Kota Langsa adalah Al-Qur’an tulisan tangan yang usianya telah mencapai 334 tahun. Kota Langsa memiliki tiga Al-Qur’an kuno yang tak ternilai harganya. Salah satunya adalah Al-Qur’an tulisan tangan yang berusia 334 tahun, merupakan peninggalan Muhammad Shaleh bin Abdullah al-Baghdadi, pemimpin Dayah Lampucok Gampong Lamleupueng, kecamatan kota Cot Glie, kabupaten Aceh Besar,” ungkapnya, Kamis (9/11/2023).

“Al-Qur’an ini digunakan sebagai alat belajar dan mengajar dalam bidang fiqih sebagaimana mahzab Ahlussunah Wal Jamaah. Ciri kertas dan tinta pada naskah ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an ini berasal dari abad ke-18. Meskipun telah berusia lebih dari tiga abad, naskah Al-Qur’an ini masih dalam kondisi baik, dengan perkiraan 98% keberadaan yang utuh dan tidak ada tanda-tanda kerusakan yang signifikan.” tambahnya.

Anwar juga menjelaskan bahwa, setiap akhir ayat dalam Al-Qur’an ini ditulis dengan menggunakan tinta emas, dan pada kertasnya terdapat cap bertandakan VC dan Bulan Sabit tersenyum Bersusun Tiga gendut. Kertas yang digunakan untuk menulis Al-Qur’an ini berasal dari Venesia tahun 1620 M, dan diperkirakan naskah ini ditulis pada tahun yang sama. Dengan usia sekitar 399 tahun, naskah Al-Qur’an ini adalah bukti hidup sejarah dan warisan budaya yang sangat berharga.

Tak hanya itu saja, Kota Langsa juga punya sejumlah barang berharga yang ditampilkan di Ajang PKA ke-8 yaitu.

Wadah Pendingin Buah yang Megah

Selain Al-Qur’an kuno, salah satu barang antik yang mempesona di Kota Langsa adalah wadah pendingin buah yang terbuat dari porselen dengan motif naga dan berwarna merah dan keemasan. Wadah ini bukan hanya barang antik biasa, melainkan artefak langka yang dulu digunakan oleh raja-raja dan bangsawan. Kehadiran wadah ini membawa kita kembali ke masa ketika kemewahan dan keindahan dipandang sebagai tanda kekuasaan.

Guci Peutena, Saksi Abad ke-16

Guci Peutena adalah barang antik berikutnya yang patut dicontohkan. Guci ini adalah artefak dapur yang sangat istimewa karena dibuat dari bahan tanah liat berkualitas dengan pembakaran suhu tinggi. Guci ini dibawa dari negara Cina oleh para pedagang yang memburu rempah-rempah di Aceh pulau Sumatera. Kehadiran guci ini telah mencatat sejarah perdagangan dan pertukaran budaya yang berlangsung selama berabad-abad.

Tombak Kuno, Senjata Tradisional Abad ke-17

Tombak adalah senjata tradisional yang digunakan untuk berperang melawan musuh dan berburu binatang. Benda ini terbuat dari kayu dengan mata tombak yang tajam dari besi. Tombak kuno ini telah ada sejak abad ke-17 dan adalah bukti hidup sejarah pertahanan dan perburuan di Aceh.

Rencong Aceh Gagang Pucok Reubong, Lambang Kebanggaan Abad ke-18

Rencong Aceh adalah senjata tradisional yang pernah digunakan oleh orang kaya di Langsa pada masa Perang Aceh-Belanda abad ke-18. Rencong ini bukan hanya sebuah senjata, tetapi juga merupakan lambang keberanian dan kebanggaan masyarakat Aceh dalam menghadapi tantangan berat.

pka ke-8
Perisai sejak abad ke 18, Pendingin buah yang sudah ada sejak masa kerajaan dan uang Keuh myang sudah ada sejak abad ke 16m. (Foto: acehheadline/IWN)

Pistol Era Kolonial Belanda Abad ke-18

Pistol adalah senjata yang digunakan pada masa agresi perang dan sebagai alat perlindungan diri dari musuh. Pistol kuno ini terbuat dari besi dan kayu dengan teknik peluru dimasukkan dari depan mulut pistol. Dipercayai bahwa pistol ini berasal dari masa kolonial Belanda abad ke-18, mengingatkan kita pada zaman penuh tantangan dalam sejarah Aceh.

Kamus Aceh-Belanda Karya Pangeran Arya, DR. Hoesein Djajadiningrat

Kamus ini merupakan bukti penting dalam usaha melestarikan bahasa dan budaya Aceh dalam hubungannya dengan masa penjajahan Belanda. Kamus ini ditulis pada Oktober 1933 oleh Pangeran Arya, DR. Hoesein Djajadiningrat, dan memiliki nilai budaya yang tak ternilai harganya.

Guci Peutena: Kembali ke Abad ke-16

Selain guci peutena yang telah disebutkan sebelumnya, ada pula barang antik berupa guci peutena yang juga merupakan peninggalan bersejarah dari abad ke-16. Guci ini merupakan contoh nyata kemahiran pembuatan keramik pada masa itu. Terbuat dari bahan tanah liat berkualitas dengan pembakaran suhu tinggi, guci ini telah menjadi saksi bisu dari pertukaran budaya antara Aceh dan Cina yang terjadi selama berabad-abad.

Tomak Kuno: Warisan Pejuang Aceh

Tombak kuno adalah senjata tradisional yang digunakan oleh pejuang Aceh dalam berbagai pertempuran sejak abad ke-17. Terbuat dari kayu dengan mata tombak yang tajam, tombak ini adalah lambang keberanian dan ketangguhan pejuang Aceh dalam melindungi tanah air mereka.

Rencong Aceh Gagang Pucok Reubong: Kebanggaan Abad ke-18

Rencong Aceh merupakan senjata tradisional yang menjadi lambang kebanggaan masyarakat Aceh pada abad ke-18. Senjata ini merupakan simbol keberanian dan identitas budaya Aceh yang kuat. Rencong Aceh menjadi saksi sejarah perjuangan dan perlawanan melawan penjajah Belanda.

Kamus Aceh-Belanda: Warisan Bahasa dan Budaya

Kamus Aceh-Belanda yang ditulis pada Oktober 1933 oleh Pangeran Arya, DR. Hoesein Djajadiningrat adalah bukti upaya melestarikan bahasa dan budaya Aceh dalam hubungannya dengan masa penjajahan Belanda. Kamus ini menjadi jendela untuk memahami bahasa dan budaya Aceh pada masa itu.

Mata Uang Keuh: Uang Kecil dengan Nilai Besar

Mata uang keuh adalah alat tukar yang digunakan oleh Kerajaan Aceh sekitar tahun 1559. Mata uang ini terbuat dari bahan timah dengan bentuk bulat dan bertulisan aksara Arab. Mata uang keuh memiliki nilai yang unik, di mana 400 keping setara dengan 1 kupang, dan tiap 4 kupang setara dengan 1 dirham. Mata uang keuh menjadi saksi bisu dari sistem ekonomi dan keuangan yang berkembang di Aceh pada masa lalu.

Mata Uang Belanda: Jejak Kolonial Abad ke-19

Mata uang Belanda yang dikeluarkan selama masa penjajahan di Indonesia oleh Belanda sekitar tahun 1890 adalah salah satu contoh lain dari barang antik yang dapat ditemukan di Kota Langsa. Mata uang ini terbuat dari logam merah dengan motif aksara Jawa yang melingkar. Mata uang Belanda ini mencerminkan periode kolonial yang memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.

Pada PKA ke-8, Kota Langsa dengan bangga memamerkan kekayaan budaya dan sejarah yang tak ternilai harganya. Barang-barang antik ini bukan hanya sekadar benda mati, melainkan cerminan kejayaan masa lalu dan warisan budaya yang membanggakan.

Kota Langsa terus memelihara dan memperkenalkan harta bersejarah ini kepada dunia, menjadikannya destinasi wisata yang kaya akan cerita dan keajaiban. Dalam berbagai bentuknya, barang-barang antik ini mengajarkan kita tentang ketahanan budaya dan sejarah yang tak terlupakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *