AcehHeadline.com | Aceh Besar,- Koalisi NGO HAM kembali menggelar diskusi publik bersama multistakeholder mengenai model reparasi bagi Korban pelanggaran HAM di Aceh di Aula Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Kuata Malaka, Aceh Besar pada Kamis (25/04/2024).
Kegiatan yang difasilitasi oleh Zulfikar Muhammad, dengan menghadirkann arasumber Fahmi Rizal ikut dihadiri oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Aceh Besar, akademisi dan Praktisi, CSO serta awak media.
Direktur Koalisi NGO HAM Khairil Arista menyebutkan, Isu reparasi pemulihan korban pelanggaran HAM telah menjadi prioritas pemerintah, yang memutuskan untuk mengadopsi pendekatan penyelesaian non-yudisial terhadap pelanggaran berat HAM dengan fokus utama pada pemulihan hak-hak korban.
“Keputusan ini mencerminkan komitmen untuk memberikan keadilan dan dukungan menyeluruh kepada mereka yang telah menderita akibat pelanggaran HAM”, Sebut Khairil dalam wawancara disela sela kegiatan.
Khairil melanjutkan, Program pemerintah tersebut ditandai dengan terlaksananya “Kick Off Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat” pada Selasa, 27 Juni 2023, di Pidie, Aceh yang dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut Direktur Koalisi NGO HAM, Sejauh ini, langkah konkret pemenuhan hak atas pemulihan pelanggaran HAM berat masa lalu belum terlaksana dengan baik oleh pemerintah, namun dengan adanya peluncuran program
tersebut menjadi suatu pijakan besar untuk menuju pada dipulihkannya hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu, sebut Khairil.
Ia melanjutkan, dalam pencapaian tersebut dibutuhkan perhatian khusus pada tujuh aspek yaitu perlindungan korban, pemulihan korban, pengelolaan data korban, penyediaan layanan
informasi bagi korban, regulasi yang berpihak pada korban, pembentukan kelembagaan yang efektif dalam menangani korban, dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM).
Untuk itu, kata Khairil, dalam mendorong hak pemulihan atas korban pelanggaran HAM khususnya yang terjadi di Aceh pihaknya dalam hal ini Koalisi NGO HAM sedang menyusun kertas kebijakan untuk mengadvokasi terkait model pemulihan korban yang ideal bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.
Perumusan model ini tidak semata-mata dari pihak Koalisi NGO HAM semata, akan tetapi data lainnya juga telah dikumpulkan pihaknya dari lokakarya bersama multi stakeholder dan pertemuan bersama korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu di 7 kabupaten / kota di Aceh termasuk Aceh Besar dalam kegiatan hari ini.
Ketujuh kabupaten tersebut diantaranya Pidie, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur dan Aceh Selatan serta Aceh Besar.
Untuk memperkuat hasil lokakarya dan pertemuan tersebut, diskusi publik ini menjadi panggung penting dalam mendorong pemahaman mendalam terkait model reparasi korban.
Dalam kegiatan ini, kata khairil, akan ada tiga pertanyaan mendasar yang akan coba dibahas, yaitu sejauh mana keberlanjutan hidup para korban dapat dijamin, upaya pencegahan terulangnya
pelanggaran HAM di masa depan, dan bagaimana pemulihan terhadap korban dapat berkontribusi pada pelurusan sejarah.
“Penting untuk dicatat bahwa semua peserta diskusi diundang untuk menjadi narasumber aktif pada dalam Diskusi Publik Bersama Multi Stakeholder Mengenai Model Reparasi bagi Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu”, tegas Khairil.
Dalam pernyataan akan dijadikan rujukan dalam rangka merumuskan rekomendasi model pemulihan korban. Dengan melibatkan berbagai pihak, diskusi ini diharapkan mampu memberikan representasi yang menyeluruh tentang model reparasi bagi korban pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, pemikiran dan pengalaman yang beragam dari peserta undangan menjadi dasar bagi keputusankeputusan strategis yang akan diambil selanjutnya.
Sehingga lanjut Khairil, tujuan yang kita harapkan dapat tercapai yaitu untuk menyampaikan informasi mengenai isu strategis berkenaan dengan HAM untuk
dimuat dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) kepada korban atau keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu dan untuk mendapatkan masukan untuk draft model pemulihan korban/ keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.
Hal tersebut berjalan berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial
Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu, Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian NonYudisial Pelanggaran HAM Berat, dan KEPPRES No 4 Tahun 2023 tentang tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial
Semantara, tambah Khairil, capaian yang Diharapkan adanya informasi yang disampaikan mengenai isu strategis berkenaan dengan HAM untuk dimuat dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) kepada korban atau keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu dan adanya masukan untuk model pemulihan korban/ keluarga korban pelanggaran HAM masal alu.