Banda Aceh – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedang menggedok Rancangan Qanun (Raqan) tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Karbon Dalam Industri Hulu Minyak dan Gas (Migas) Bumi Aceh.
Meski bisnis usaha tersebut belum ada di Aceh, namun DPRA mulai menyiapkan regulasinya sebagai dasar hukumnya. Rancangan Qanun tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Karbon dalam Industri Migas ini sedang dalam proses penyusunan dan sudah pada tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
RDPU terkait Rancangan Qanun tersebut sudah mulai bergulir seperti yang dilakukan Badan Legislatif (Banleg) DPRA pada akhir Juni 2024 kemarin. RDPU yang dipimpin langsung oleh Ketua Banleg DPRA, Mawardi SE, dihadiri puluhan tamu undangan dari unsur pemerintah, akademisi, pihak terkait, hingga perwakilan dari Ormas.
Ketua Banleg DPRA mengakui, Raqan dimaksud masih tergolong awam di masyarakat Aceh meski Aceh termasuk salah satu penghasil Migas terbesar di Indonesia yang industrinya telah ada sejak puluhan tahun lalu. “Bagi kami di Banleg DPR Aceh, hal ini sebagai pengetahuan baru dan kemajuan yang luar biasa dalam Pemerintahan Aceh,” ujar Mawardi.
Mawardi menjelaskan, Undang-Undang Pengelolaan dan Pemanfaatan Karbon dalam Industri Minyak dan Gas Bumi itu, belum ada di Indonesia, baru Peraturan Presiden. Pemerintah Aceh, dimasa Pj Gubernur Aceh, Bustami, membuat Qanun Bisnis Pengelolaan dan Pemanfaatan Karbon dalam Industri dan Gas Bumi itu, karena bisnis tersebut sangat besar potensialnya di Aceh.
Aceh, kata Mawardi, khususnya Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, pada tahun 1970 – 2010, pernah menjadi produsen gas alam cair terbesar di Asia Tenggara, melalu PT Arun NGL, Exxon Mobil dan Mobil OIL, serta lainnya.
“Sumber gas alam yang telah disedot selama 40 tahun itu, dari perut bumi Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara serta sekitarnya, sekarang kondisinya sudah kosong tanpa gas.
Ruang kosong yang ada dalam perut bumi itu, yang akan kita jual untuk mengisi CO2 cair, yang terdapat di negara-negara industri penghasil CO2 (karbon) di belahan dunia, seperti di Eropa, Amerika, Asia, Australia, Afrika dan lainnya,” kata Mawardi
Di negara-negara Amerika, Eropa, Australia, tambah Mawardi, penghasil bahan tambang dan industri berat, perusahaannya diwajibkan membeli sertifikat pencairan CO2, atas kompensasi pabrikannya yang menghasilkan asap hitam mengandung CO2.
“Untuk mengurangi kepadatan CO2 di negara industri berat tersebut, harus dilakukan penyedotan CO2 di wilayah udaranya dan gas cair CO2, yang telah disedot, harus di buang dan diinjeksikan ke dalam perut bumi bekas penyedotan gas alam cair,” sebutnya.
Aceh, kata Mawardi, salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki ruang kosong dalam perut buminya, bekas penyedotan gas alam cair pada masa PT Arun NGL, Exxon Mobil dan Mobil OIL.
“Negara-negara maju yang akan membuang gas CO2 cairnya, mereka akan mencari negara – negara yang memiliki ruang kosong bekas gas bumi alam cair, maka peluang itu ada Aceh tepatnya di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara,” pungkas Mawardi. (Parlementaria)