Situasi.id, BANDA ACEH – Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF), mengadakan diskusi dan kajian bersama mahasiswa berkenaan dengan 17 tahun implementasi Undang-undang No 11 Tahun 2006, tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh yang menghasilkan kertas kebijakan (policy paper), di Kota Banda Aceh, Senin (10/10).
Hal itu, disampaikan oleh Nina Noviana, selaku Ketua Tim kajian ACSTF Aceh kepada media Situasi.id, Selasa (11/10/2022).
Menurut Novi, ”policy paper tersebut didiskusikan lebih mendalam dengan perwakilan dari berbagai mahasiswa, karena menurutnya mahasiswa dapat berperan lebih aktif kedepan dalam evaluasi perjalanan UUPA saat ini. Terutama dalam mengawasi dan mengkritisi pelaksanaan UU No 11 tahun 2006 ini”.
ACSTF, sebagai lembaga yang dibentuk saat proses perundingan antara GAM dengan RI tahun 2001 silam, yang terus berupaya untuk tetap konsisten dalam memastikan proses transformasi konflik ke perdamaian dan pembangunan yang berkelanjutan di seluruh Aceh, katanya.
Dr. Otto syamsudin, berpandangan bahwa UUPA itu merupakan “konstitusinya Aceh”. Maka semestinya, dalam pelaksanaannya tidak lepas dari gagasan-gagasan baru yang menjadi imajinasi politik dalam bernegara.
Misalkan, qanun-qanun yang dihasilkan mengandung substansi yang dapat menjawab segala kebutuhan dan kepentingan dalam pembangunan kesejahteraan rakyat Aceh, imajinasi tentang keacehan itu lahir dari masa keemasan Aceh, sebagaimana gagasan perjuangan yang dipimpin oleh Hasan Tiro saat memperjuangkan Aceh, kata Dr. Otto.
“Semestinya elit-elit Partai lokal di Aceh saat ini semestinya terus membangun imajinasi politik pembangunan Aceh yang berkelanjutan. Namun, faktanya bahwa selama 17 tahun ini, mereka kering imajinasi dalam mengelola Aceh”, ucapnya.
Sementara itu, Juanda Djamal, dalam kritiknya menyebutkan awal perdamaian kita mengalami eforia yang berlebihan, sehingga agenda utama kita hilang, cita-cita perjuangan tergerus oleh kekuasaan politik, sehingga mengalami demoralisasi perjuangan saat ini.
Faktornya, adalah semakin berkurangnya diskusi ataupun kajian yang berisikan tentang agenda-agenda pembangunan Aceh, kita cenderung saling menertawai sesama, dan tentunya kepentingan personal mempengaruhi gerak kita saat ini.
“Meskipun pejuang/aktivis sudah memiliki posisi strategis namun sulit membangun gerak yang inklusif dan kolaboratif sehingga kehilangan cita-cita bersama atau “common goal”, ungkap Djamal sebagai pemateri diskusi.
Tepatnya saat ini Evaluasi UUPA adalah jalan tengah yang bisa dilakukan oleh elit Aceh, meskipun isu revisi UUPA saat ini terus bergelinding. Namun, pada diskusi ACSTF merekomendasikan sebaiknya DPRA melakukan evaluasi menyeluruh dan mengkaji problem utama kenapa efektifitas UUPA tidak dapat dijalankan dengan baik, tambahnya.
“Temukan dulu permasalahan utama, karena mengefektifkan kewenangan dan peluang yang sudah ada jauh lebih penting dibandingkan kita revisi malah menghilangkan kewenangan yang sudah ada, maka pengalaman Papua harus dapat menjadi pembelajaran bagi kita Aceh”, tambah Djamal.
Maka dari itu, revisi UUPA harus dipertimbangkan dalam dinamika politik nasional, apakah saat ini memiliki momentum politik untuk dilakukan revisi atau tidak. Karena, amatan kita kesolidan DPR Aceh pun sangat kurang.
ACSTF merekomendasikan agar Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dapat melakukan evaluasi menyeluruh, kajikan kembali semua qanun, semua peraturan pemerintah dan lainnya, kemudian kuatkan kembali konektifitas antara eksekutif dan legislatif Aceh, dalam memahami UUPA supaya pemimpin eksekutif dan legislatif memiliki ruh bahwa UUPA merupakan konstitusi Aceh, tutup Juanda.